Selasa, 30 November 2010

Belajarlah Dari Serorang Anak Bernama Obiet Panggrahito

Mar
picture-obiet-idola-cilik-2-singingObiet… rasanya ga banyak yang tau nama ini. Ato bahkan ga tau, ini nama apa hehehe… Obiet adalah nama anak kecil dari Jogja yang ikut acara Idola Cilik 2 di RCTI. Apa istimewanya dia di mata saya? Sampai saya mesti menunda postingan tentang lanjutan SEOParking buat nulis tentang Obiet ini. Awalnya bahkan saya ga tau ama acara Idola Cilik ini, gara2 saya denger lagu Merindukanmu nya d’Masiv yang dinyanyikan Olin salah satu peserta, saya jadi rajin nonton acara ini.  Ternyata  saya banyak belajar dari sini. Dan sungguh, kemaren saya sedih banget saat Obiet, peserta yang saya jagoin jadi juara harus gugur karena kalah jumlah sms nya. Napa saya ngefans ama Obiet..karena Obiet saat nyanyi bener2 menikmati bagaimana menyanyi itu…. Vokalnya bagus, improvisasinya mantap, hingga kalo dia nyanyi duet ama siapa ajaah, dia bisa ambil nada yang pas. Intinya, Obiet nyanyi dari hati. (menurut saya sii..hehehe..)
Naah… walo dapat dukungan dari komentator juga…tapi karena pemilihan juara ditentukan ama jumlah sms, maka Obiet harus keluar dari 4 besar Idola Cilik, karena jumlah sms nya paling rendah. Dan, yang mengejutkan saya, saat banyak pendukungnya pada nangis dan para komentator/juri juga bermuka sedih, Obiet tetap tenang, tetep senyum…dan tetep menyanyikan dengan manisnya lagu terakhir, yang memang harus dinyanyikan oleh peserta yang gugur ato istilah di Idola Cilik tu tidak naik kelas. Padahal, kebanyakan peserta laen yang ga naik kelas akan  nangis sesenggukan, ato paling ga, mereka ga akan bisa nyanyi dengan baik lagi setelah diumumkan kalo ga naik kelas/gugur.
Beginilah mental seorang juara yang sebenernya, dia bisa menghadapi hasil apapun dengan tenang.. Duuh anak sekecil itu dah bisa punya sikap yang layak kita tiru, terutama saat kita ngadepin kegagalan dalam usaha kita di bisnis online ato usaha yang laen. Dari acara lomba nyanyi2 ini ternyata kita bisa blajar banyak.
Begitulah, kalo kita menikmati apa yang kita kerjakan, kita melakukannya dengan hati, saat menghadapi hasil yang ga sesuai dengan apa yang kita harapkanpun kita akan tetep tenang. Karena kita memang menikmati proses nya… Dan kita tetep yakin akan mendapat hasil yang selalu lebih baik. Good Luck yaaaah……..

Sumber:  

http://secundaputri.com/obietkita-ga-perlu-malu-belajar-dari-idola-cilik/

belajar bernyanyi

belajar bernyanyi

Di alam yang modern ini, banyak orang yang sudah jenuh, lelah, pusing dengan pekerjaannya, mereka banyak yang mencari pelampiasan untuk sekedar refreshing, menyegarkan kembali otak meraka yang lelah. Salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan itu adalah MENYANYI, baik di karaoke, live music, atau hanya menjadi penikmat setia di Pub/Café. Sebenarnya menyanyi bukanlah pekerjaan yang susah, tetapi banyak orang yang takut/miris duluan ketika mereka disuruh nyanyi, atau sebaliknya ada orang yang terlalu percaya diri (over convidence) dengan suara yang pas-pasan, dia berani nyanyi di depan umum.

Dua permasalahan tersebut di atas sebenarnya bisa diatasi dan saling mengisi satu sama lain apa kekurangan/kelemahannya. Misalnya, yang takut menyanyi tumbuhkan rasa percaya diri bahwa dia mampu menyanyi seperti orang lain, yang sudah percaya diri, tinggal mengarahkan cara/teknik menyanyi yang baik dan benar, sehingga dia bisa mengontrol suaranya dengan benar. Bagi orang awam cukup mempunyai dua unsur tadi untuk bisa tampil bagus di muka umum, yang pertama harus punya keberanian untuk mengeluarkan suara semaksimal mungkin, yang ke dua tumbuhkan rasa keberanian, percaya diri yang kuat bahwa kita mampu menyanyi.

Kalau dua unsur tadi sudah dimiliki, maka berlanjut kepada unsur berikutnya yang lebih penting, yaitu mencoba menyanyi dengan TEKNIK VOCAL yang baik dan benar. TEKNIK VOCAL adalah sebuah cara/usaha untuk memproduksi suara yang baik dan benar, sehingga suara yang keluar akan terasa merdu, jelas, dan enak didengar. Memang akan terasa sangat susah kalau menyanyi menggunakan Teknik Vocal, tetapi kalau kita sudah terbiasa akan sangat membatu kita, sehingga kita tidak mudah lelah, cape, jenuh, dan serak, karena kita menggunakan teknik vocal yang benar. Dalam teknik vocal kita diajari cara menyanyi yang benar, mulai dari cara pernafasan, artikulasi, diksi, ekspresi, penampilan, materi vocal, improvisasi, pherasering, vibrasi, dsb. Kalau semua itu sudah dimiliki barulah kita bisa menyanyi dengan hati/ perasaan. Banyak orang menyanyi tapi terasa hampa/kosong , kurang gereget.

Setiap kita menyanyi, kita harus memberi RUH disetiap kata dan tarikan nafas kita, buatlah audiens terkesima, dan terkesan dengan suara kita. Rahasianya, kita tidak usah meniru habis-habisan suara penyanyi aslinya, yang lebih baik adalah TUNJUKKAN KARAKTER SUARA KITA yang sesungguhnya, karena setiap orang mempunyai TIMBRE yang berbeda-beda, kita jangan bangga bisa menirukan suara penyanyi lain, tapi kita harus bangga bahwa kita punya suara yang khas yang tidak dimiliki orang lain. Selanjutnya kita harus menyanyi dengan nada dasar yang pas/maksimal yang bisa dijangkau, karena sesungguhnya karakter suara seseorang akan muncul, kelihatan ketika dia menyanyi dengan nada yang pas/maksimal, kita jangan sekali-kali terlalu memaksakan diri untuk mencapai ketinggian suara asli orang lain, diluar kemampuan suara kita, sebab akibatnya akan sangat fatal. Kita harus tahu posisi suara kita ada di range apa, kalau wanita, ada suara SOPRAN, MEZZO SOPRAN, ALTO, kalau pria ada suara TENOR, BARITON, BAS. Guru vocal akan memberi tahu di mana posisi suara kita berada. Setiap manusia mempunyai AMBITUS SUARA yang berbeda-beda.

Biasanya, bagi orang yang baru belajar menyanyi suka cepat lelah, serak, sehingga jangankan menyanyi, bicara saja sudah tidak bisa. Hal ini bisa kita hindari, caranya adalah menyanyi dengan teknik nafas yang benar, dan kalau sudah menyanyi jangan langsung minum, apalagi yang dingin atau yang terlalu panas, hal itu akan membuat pita suara kita rusak. Yang paling baik adalah jika kita baru selesai menyanyi, tunggulah sekitar 3-4 menit atau hingga tenggorokan kita lebih nyaman, setelah itu silahkan minum air putih yang tidak dingin, atau tidak terlalu panas. Cara ini akan sangat membantu ketahanan suara kita agar tidak cepat lelah, serak. Hal lain yang perlu kita hindari adalah memakan makanan yang mengadung minyak,dan terlalu pedas, juga jangan terlalu sering begadang ,karena daya tahan tubuh dan pita suara akan berkurang jika kita sering begadang.

Kalau kita ingin cepat bisa bernyanyi dengan baik dan benar, kita harus sering berlatih vocal, cobalah bernyanyi disetiap ada kesempatan, dan jangan lupa mintalah masukan, kritik, saran dari teman atau guru vocal kita. Semua masukan ,kritik dan saran adalah obat yang paling ampuh untuk meperbaiki vocal kita, jangn pernah alergi, takut, apalagi marah dengan kritik, saran dari orang lain. Cara lain, bisa juga dengan merekam suara kita ketika sedang menyanyi, lalu putar ulang dan simak dengan teliti dimana kelebihan dan kelemahan vocal kita, diskusikan dengan teman atau guru vocal kita. Itulah cara yang paling ampuh untuk mengetahui kemampuan menyanyi kita, tanpa ada rasa sakit hati.

Berdasarkan pengalaman, kelemahan yang paling banyak dilakukan oleh penyanyi pemula adalah, suara yang tipis/nyempreng, artikulasi yang tidak jelas, dan tempo yang tidak menentu, kapan mulai masuk, kapan berhenti. Kalau kita lihat sebenarnya manusia mempunyai tiga sifat musical :
MUSICAL ABSOLUTE, orang yang memiliki kecerdasan luar biasa dalam bidang musik, tidak memerlukan waktu lama untuk belajar musik, dan memiliki feeling yang kuat dan berbakat.
MUSICAL , orang yang sedang-sedang saja, memiliki rasa musical tapi tidak menonjol, bisa menguasai lagu, tetapi memerlukan waktu yang cukup untuk belajar terlebih dahulu.
A MUSICAL, orang seperti ini yang susah untuk bisa secara normal menguasai lagu, karena bakat yang dimilikinya sangat kurang, bahkan tidak ada, dia hanya bermodalkan keberanian. Orang seperti ini akan sangat lama/susah dalam mempelajari materi music. Mungkin bisa berhasil, tapi dalam tempo yang lama, usaha yang keras, dan disiplin yang tinggi.

Pada umumnya orang berpendapat bahwa menjadi penyanyi adalah karena bakat sejak lahir. Bagi orang yang merasa tak memiliki bakat tersebut tentu akan menjadi pesimis dan membiarkan sebuah kesempatan berlalu begitu saja. Namum benarkah anggapan masyarakat tersebut?

Menurut survey dari orang-orang sukses dan menjadi ahli di bidangnya, bakat hanya sebagian kecil peranannya, bahkan ada yang tidak memasukan sebagai kunci sukses mereka. Resep berhasilnya adalah belajar, berlatih, mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, tak lupa selalu berdoa. Termasuk dalam menyanyi. Walaupun bakat dianggap sebagai modal awal untuk orang dapat melangkah, tak dapat dipungkiri peranan latihan sangatlah besar.

Sebenarnya berlatih menyanyi sudah diajarkan sejak masih bayi. Disengaja atau tidak, para orang tua umumnya memperkenalkan nyanyian kepada si anak, sewaktu masih bayi. Kemudian setelah dapat berbicara mereka mengajarkan menyanyi. Bernyanyi secara benar pada umumnya dapat dimulai pada usia 8 tahunan. Karena pada usia tersebut, anak bisa diajak belajar serius dan dapat mengerti perintah-perintah yang bersifat teknis. Bagi anda yang ingin belajar bernyanyi, nah, berikut ini ada 5 langkah praktis untuk bisa menyanyi dengan baik dan benar :

1. Teknik Pernafasan (Ini merupakan motor penggerak)
Dalam bernyanyi, pernafasan itu sangat penting karena bernafas dengan baik akan sangat membantu dalam membentuk suara serta dapat memenuhi prasering atau panjang dan pendeknya suatu kumpulan nada seperti yang diminta oleh pencipta lagu.

Ada bermacam-macam pernafasan, yaitu :
a. Pernafasan CLAVICULAIR (dengan memakai pundak)
b. Pernafasan COSTROL (dengan dada)
c. Pernafasan DIAFRAGMA (ini yang paling baik)

Proses atau cara melatih pernafasan yan baik :
• Tarik nafas atau hirup nafas anda dalam 8 hitungan (8 detik) : 1 2 3 4 5 6 7 8
• Tahan nafas saudara dalam 4 hitungan (4 detik) : 1 2 3 4
• Keluarkan nafas saudara dengan berdesis dalam 8 hitungan : 1 2 3 4 5 6 7 8

Bisa juga hal itu disebut 8 4 8 karena menghirup nafas dalam 8 hitungan, menahan nafas dalam 4 hitungan dan mengeluarkan nafas dalam 8 hitungan. Lakukan latihan itu berulang-ulang, dan saat mengeluarkan nafas, desis anda bisa diganti dengan mengucapkam mo atau me atau mu, dll.

2. Intonasi (Penguasaan Notasi)
Intonasi adalah pembidik nada yan tepat atau menyanyikan nada dengan tepat. Untuk bisa memiliki intonasi yang baik, kita sebaiknya berlatih dengan alat music seperti piano atau keyboard supaya nada yang kita mainkan pasti dan terkontrol. Tapi hal ini dapat diakali jika kita tidak memiliki alat music tersebut. Kita bisa merekam suara piano tersebut di handphone kita dan kita dapat pelajari sewaktu-waktu. Contoh: Kita dapat memainkan tangga nada C kemudian D dan E secara berurutan di piano atau gitar(mungkin kita bisa minta teman kita untuk memainkannya), kemudian kita rekan di handphone. Nada yang dapat direkam mungkin adalah sebagai berikut.
Secara Ascending Do Re Mi Fa Sol La Si Do dan Descending yaitu Do Si La Sol Fa Mi Re Do atau
Secara Ascending Do Mi Re Fa Mi Sol Fa La Sol Si La Do Si dan Descending yaitu Do La Si Sol La Fa Sol Mi Fa Re Mi Do.
Anda bisa melakukan variasi lain misalnya
Do Re Mi Fa Re Mi Fa Sol Mi Fa Sol La Si Sol La Si Do dan Descending Do Si La Sol Si La Sol Fa La Sol Fa Mi Sol Fa Mi Re Fa Mi Re Do

3. Irama, Birama & Tempo
Seorang penyanyi yang baik seharusnya belajar untuk bisa menguasai bermacam-macam irama atau jenis aliran music seperti : Chaca, Pop, Waltz dan sebagainya. Dia juga harus mengetahui birama lagu, apakah 4/4, ¾ atau 2/4, dan mesti mengikuti tempo (lambat-cepat) lagu sesuai dengan yang diminta pencipta.

4. Penguasaan Artikulasi (pengucapan kata)
Seorang penyanyi selain harus menguasai dan mengahfalkan syair (lirik) lagu dengan baik, juga harus mengucapkan kata-katanya dengan jelas dan tegas. Untuk membantu agar dapat memberi “jiwa” pada lagu tersebut, harus juga memahami isi dan maksud yangterkandung dalam lagu. Ada beberapa cara praktis untuk meningkatkan artikulasi anda, yaitu dengan mengucapkan vocal : A I U E O

5. Tehnik Vibrasi
Vibrasi adalah suatu bentuk suara yang bergetar dan bergelombang dalam tehnik oleh vocal, vibrasi ini merupakan tahap finishing. Fungsinya biar terdengar lebih merdu dan indah. Kalau mau tahu contoh vibrasi yaitu ketika seseorang tertawa terbahak-bahak, suara akan terdengar bergetar dan bergelombang. Kemudian dalam dunia tarik suara, bentuk dasar tersebut dikembangkan menjadi sebuah tehnik dalam bernyanyi yang disebut vibrasi.

Selain hal-hal diatas, ada hal lain yang harus diperhatikan, yaitu sikap tubuh dalam bernyanyi, baik dalam latihan maupun pada saat kita sedang tampil di panggung/podium. Mengapa sikap tubuh sangat berpengaruh pada sirkulasi nafas yang merupakan unsur penting dalam bernyanyi. Sikap ini harus dilatih, baik sikap duduk maupun sikap berdiri. Wah, banyak sekali yang harus diperhatikan untuk bisa bernyanyi dengan baik ya ? OK..selamat belajar!

Arsip untuk KECERDASAN IQ EQ DAN SQ kategori

KECERDASAN BERBASIS IQ, EQ DAN SQ

MODEL KECERDASAN BERBASIS

NEUROSIENCE : IQ, EQ DAN SQ

Model-model kecerdasan yang kini dikembangkan dalam dunia psikologi mendasarkan argumen-argumennya pada temuan-temuan ilmiah dari studi dan penelitian neuroscience. Mulai dari model kecerdasan konvensional (IQ), kecerdasan emosional (EQ), hingga yang mengklaim diri sebagai model kecerdasan ultimat: kecerdasan spiritual (SQ), seluruhnya masih menjelaskan kesadaran manusia dengan segenap aspek-aspeknya sebagai proses-proses yang secara esensial berlangsung pada jaringan syaraf. Meski jaringan syaraf pusat menampakkan gejala-gejala aktivitas kesadaran manusia secara dominan, namun sekedar mereduksi entitas kesadaran ke dalam proses-proses syaraf tersebut, hanya akan memastikan hilangnya peluang untuk menjelaskan struktur kesadaran manusia secara utuh dan fundamental. Pendekatan alternatif selain model-model neuroscience terhadap gejala-gejala kesadaran ini antara lain diperoleh melalui teori-teori kognisi kontemporer yang berbeda dengan pendekatan sebelumnya dalam hal penekanannya terhadap proses hidup secara keseluruhan, alih-alih memusatkan perhatian terhadap jaringan syaraf pusat saja. Pendekatan ini mengkarakterisasi diri manusia dalam struktur-struktur sistem kompleks metasistemik dengan sifat-sifat emergent yang nampak sebagai gejala-gejala kecerdasan.
I. Pendahuluan
Studi dan penelitian tentang kecerdasan dalam psikologi modern pada dasarnya termotivasi untuk memenuhi keperluan-keperluan praktis yang terkait dengan dunia pendidikan/pekerjaan/kehidupan sehari-hari; yakni untuk memahami, mengukur, mengklasifikasi, mengelola serta memanfaatkan aspek-aspek kecerdasan individu dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam konteks ini, kecerdasan dimaknai–sama seperti maknanya dalam bahasa sehari-hari–sebagai kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan praktis (problem-solving capacity).
Seperti yang telah dapat kita terka, dalam perkembangannya kemudian pemaknaan ini terpaksa harus diperluas untuk dapat diletakkan dalam konteks yang lebih fundamental, karena pada dasarnya kecerdasan dan aspek kognisi tak terpisahkan dari aktivitas pikiran/kesadaran manusia secara utuh dan hubungannya dengan aspek-aspek kedirian manusia seutuhnya yang belum terjamah, serta interaksinya dengan lingkungan di sekelilingnya. Hanya melalui konteks yang lebih substansial dan integral inilah kita boleh berharap untuk mendekati fenomena kecerdasan (sekaligus juga pikiran/aktivitas kesadaran) secara lebih komprehensif.
Dalam konteks yang lebih fundamental dan ekstensif ini, pada akhirnya secara tak terelakkan kita berhadapan dengan isu-isu dan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang saling terkait erat: Apakah kecerdasan itu? Bagaimana ia bekerja? Bagaimana kita dapat memahami sesuatu? Objek atau proses apa yang terlibat pada saat kita berpikir? Bagaimana bisa kita berkesadaran? Kapan kesadaran muncul? Apa fungsinya? Apa peran kesadaran dalam eksistensi manusia yang masih sangat baru ini? Apa kaitannya dengan lingkungan? Bagaimana hubungan antara kesadaran dengan alam semesta? Di manakah batas-batas aspek kedirian manusia itu? Bisakah selain manusia berpikir dan berkesadaran? Dari mana kesadaran berasal?
Isu dan pertanyaan yang selalu aktual dan penting ini telah menjadi sumber khazanah berbagai ikhtiar umat manusia yang termanifestasi dalam berbagai bidang kajian/penyelidikan yang saling terkait erat satu sama lain dan tak terpisahkan–hanya terbedakan melalui abstraksi formal–mulai dari filsafat, psikologi, antropologi, cognitive science, linguistik, neuroscience, yang juga melibatkan ilmu-ilmu alam dasar seperti biologi, kimia, fisika, dengan bahasa matematika, hingga computer science dan artificial intelligence. Semua isu tadi didekati dengan berbagai motivasi, dimensi, kerangka kerja serta nuansa berbeda yang mewarnai masing-masing ikhtiar keilmuan yang beragam tadi.
Meski manfaat dari masing-masing bidang tadi secara independen telah membuka cakrawala peradaban dan meningkatkan kualitas hidup kita, namun hanya melalui visi dan konteks yang menyeluruhlah kita dapat mengintegrasikan seluruh kontribusi bidang-bidang tadi ke dalam sebuah bangunan kerangka kerja yang utuh dan koheren, guna memperoleh pengetahuan yang komprehensif tentang manusia secara utuh dan menurunkan strategi yang benar untuk mengembangkan potensi insaniah secara utuh dari setiap individu dalam masyarakat. Pada akhirnya, secara praktis semuanya terkait lagi dengan motivasi awal yang telah diungkapkan sebelumnya.
Satu catatan penting lain berkaitan dengan isu-isu tadi, yakni kenyataan bahwa seluruh isu-isu dan pertanyaan-pertanyaan tadi juga dialamati–secara luar biasa lengkap dan terperinci–oleh risalah-risalah kenabian yang pernah diturunkan di sepanjang sejarah umat manusia dalam berbagai titik waktu, tempat dan tradisi yang berlainan, sebagai suatu isu sentral dalam risalah tersebut. Namun berbeda dengan ikhtiar-ikhtiar ilmiah tadi, risalah-risalah kenabian nampaknya tidak hadir dengan ‘jawaban’ atas isu-isu tadi. Lebih dari itu, risalah-risalah ini hadir sebagai sebuah struktur realitas ultimat terhadap eksistensi insaniah yang sejati, yang menyentuh dan menyelesaikan isu-isu tersebut tanpa perlu memberikan jawaban. Karena batas-batas diri manusia bukanlah terletak pada apa-apa yang kita pikirkan tentang diri kita, maka pertanyaan yang muncul dalam fakultas pikiran kita–serta jawaban yang juga terkait dengannya–tidak relevan lagi ketika struktur realitas tersebut sudah menempatkan diri manusia dalam konteksnya yang sejati. Itulah sebabnya dalam risalah-risalah kenabian, pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari segenap jalan kehidupan pengikutnya yang menjadi perwujudan hidup dari risalah itu sendiri. Jadi dalam hal ini–seperti halnya materi adalah energi–pengetahuan adalah transformasi. Di sinilah letak perbedaannya dengan ikhtiar ilmiah yang dapat tetap saja menjadi abstrak dan teoretik.
Ketertarikan manusia terhadap fenomena kecerdasan–lebih luas lagi; fakultas pikiran dan aktivitas kesadaran dirinya sendiri–telah dimulai sejak lama, barangkali sejak kesadaran itu sendiri muncul. Untuk memahami bagaimana fakultas kesadaran itu dimaknai kini (dan untuk menentukan arah-arah investigasinya nanti) kita dapat menelusuri landasan-landasan filosofis yang mendasarinya. Tentu saja tradisi filsafat baratlah yang melandasi hal ini, sebagaimana tradisi itu pulalah yang melandasi alam pikiran kita di sebuah negeri timur dengan gaya pendidikan yang sedikit membarat dan kehilangan seluruh identitas substansialnya. Cukup memadai kiranya untuk mengawali penelusuran konsep kecerdasan dalam tradisi filsafat barat melalui para filsuf Yunani; Socrates, Plato dan Aristoteles, meskipun para filsuf pra-sokratik lainnya juga telah menyentuh aspek-aspek ini. “The safest characterization of the European philosophical tradition is that it consists of a series of footnotes to Plato,” demikian A. N. Whitehead menjaminnya.
Dalam Eutyphron, Plato mengungkapkan sebuah dialog ketika Socrates bertanya kepada Eutyphro, “Aku ingin tahu apa yang merupakan karakteristik dari kesalehan (piety, ada pula yang menerjemahkannya dengan goodness/kebaikan) yang membuat seluruh tindakan menjadi saleh … yang dapat aku rujuk dan aku pergunakan sebagai pedoman untuk menilai tindakan-tindakanmu dan tindakan-tindakan orang lain.” Dengan kata lain, Socrates menanyakan suatu ‘algoritma’ yang membedakan antara pikiran dan perbuatan yang saleh/baik, dari pikiran dan perbuatan yang tidak saleh/tidak baik, dengan ini ia sekaligus mendefinisikan kecerdasan secara bersahaja namun dengan makna yang dalam. Aristoteles kemudian mengerjakan pekerjaan rumahnya ini dengan memformulasikan seperangkat kaidah-kaidah formal yang mengatur alur penalaran pikiran rasional yang saleh sebagai apa yang kemudian kita sebut logika. Aristoteles mengembangkan sebuah sistem silogisme formal untuk alur penalaran yang valid, yang secara prinsip memungkinkan seseorang untuk memperoleh kesimpulan yang benar dari premis-premis awalnya.
Nampak jelas di sini bahwa gagasan tentang kecerdasan yang merupakan kemampuan untuk berpikir dan melakukan tindakan-tindakan yang benar/saleh–dalam konteks praktis: problem-solving capacity–dirumuskan dalam kemampuan untuk berpikir menurut kaidah-kaidah formal penalaran yang baik: kemampuan untuk berpikir logis. Tapi pekerjaan rumah Aristoteles tidak berhenti di sini, karena ia pun meyakini adanya suatu fakultas penalaran intuitif dalam diri manusia, yang juga saleh tapi tidak dalam konteks logikanya. Kita merasakan adanya sebuah reduksi nuansa makna dalam yang kemudian berlanjut hingga peradaban modern kini, karena kesalehan dalam pertanyaan Socrates agaknya tidak hanya dalam nuansa praktis (saleh dalam pengertian misalnya ketika menyeberang lihat kiri-kanan, ketika ada ancaman menghindar, ketika ada sesuatu merespon dengan sesuatu itu dengan tepat, dll.), namun juga dalam nuansa lain yang tidak dapat kita temukan hanya melalui pengelaborasian sisi eksistensi manusia saja.
II. IQ, EQ, dan SQ
Memasuki abad ke-20 kita mengenal sebuah istilah populer yang berkaitan dengan kecerdasan IQ, Intelligent Quotient. Sekarang ini hampir sulit menemukan ada istilah lain selain IQ yang demikian sangat mempengaruhi seseorang dalam memandang diri mereka sendiri dan orang lain. Adalah psikolog berkebangsaan Prancis, Alfred Binet, yang pada tahun 1905 menyusun suatu test kecerdasan terstandardisasi untuk pertama kalinya. Berbeda dengan bagaimana IQ diposisikan kini dalam cara masyarakat memandang dan mengklasifikasikan individu-individu, pada awalnya Binet justru merancang test kecerdasannya ini untuk mengidentifikasi pelajar-pelajar di sekolahnya saat itu yang membutuhkan bantuan khusus, dan bukannya untuk mencari anak-anak yang berbakat luar biasa seperti yang berlangsung di kemudian hari. Lebih jauh lagi, Binet berusaha untuk memastikan bahwa anak-anak yang memiliki persoalan-persoalan dalam perilaku ini tidak lantas dianggap secara terburu-buru hanya sebagai orang yang bodoh/tidak cerdas.
Test yang dikembangkan oleh Binet ini tak lama kemudian disusun kembali oleh Lewis Terman, seorang profesor dalam bidang psikologi dari Stanford University di US. Terman menggagaskan untuk memformulasikan suatu skor nilai yang disebutnya sebagai IQ–Intelligent Quotient–yang diperoleh dengan cara membagi ‘umur mental’ seseorang (yang didapat dari test kecerdasan Binet) dengan umurnya yang sebenarnya atau umur kronologisnya.
Sekarang metoda test IQ masih digunakan terutama–seperti yang pertama kali diharapkan oleh Binet–untuk keperluan membantu para pelajar yang memerlukan pelajaran tambahan dan perhatian ekstra. Namun sejarah membuktikan bahwa metoda ini bergerak lebih jauh lagi dalam mempengaruhi aspek-aspek pemikiran masyarakat modern dalam cara mereka memandang aspek-aspek potensi individu. Barangkali tidak ada yang salah dengan metoda penentuan IQ ini, namun peradaban modern barat ketika itu (dan hingga kini) tidak memiliki konsepsi yang utuh dalam memandang diri manusia. Wajar jika saat itu IQ yang merefleksikan kemampuan seseorang dalam menghadapi situasi-situasi praktis dalam hidupnya (aspek kecerdasan sebagai problem-solving capacity), dianggap sebagai satu-satunya atribut kemanusiaan yang paling berharga. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teori kecerdasan abad ke-19–paduan antara sains dan sosiologi–yang dipelopori oleh sepupu Charles Darwin, Francis Galton, pada akhir abad ke-19 secara terpisah dari apa yang dikerjakan Binet saat itu. Galton juga meyakini bahwa jika orang-orang yang memiliki banyak atribut kecerdasan ini dapat diidentifikasi dan diletakkan dalam jabatan-jabatan kepemimpinan yang strategis, maka seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh manfaatnya. Ketika itu juga berkembang paham eugenics–populer di Eropa dan US sebelum akhirnya Hitler menyadarkan mereka betapa mengerikannya gagasan itu–yang meyakini bahwa kecerdasan pada umumnya diwariskan lewat garis keturunan dan oleh karena itu orang-orang yang kurang cerdas harus didorong agar tidak melakukan reproduksi. Gerakan ini juga menggunakan IQ sebagai metoda justifikasinya.
Dalam risetnya di Stanford, Terman memberikan usulan–yang kemudian diterima secara luas di US saat itu–bahwa test IQ selayaknya digunakan untuk melakukan seleksi populasi sehingga para pemuda dapat ditempatkan berdasarkan nilai IQ-nya di dalam sistem akademik dengan derajat-derajat kelas tertentu, yang pada akhirnya akan mengarahkan mereka pada posisi dan status sosial-ekonomi yang setaraf pula di masa depannya. Andaikan kita sedemikian pandainya dengan nilai test IQ tertinggi 1% dari seluruh warga US, maka pemerintah US akan sangat pandai juga dan dermawan dalam hal mencarikan dan menawarkan kita akses menuju jenjang pendidikan kelas satu di sana, dan akhirnya pula menuju kesempatan-kesempatan kerja dan posisi-posisi sosial yang bertaraf tinggi. Orang-orang dengan IQ tinggi di sana tidak selalu memimpin jabatan penting dalam pemerintahan; namun dapat dipastikan mereka memiliki akses atas posisi-posisi istimewa dan hak-hak khusus lainnya. Dalam istilah kontemporer, suatu negara yang mengorganisasikan dirinya berdasarkan nilai test IQ seperti di US disebut meritokrasi (merit: jasa/guna).
Meritokrasi–yang jika diterjemahkan dalam prasangka baik–pada dasarnya bertujuan untuk mengaktualisasikan dan mengoptimalkan potensi-potensi setiap warga negaranya demi kepentingan bersama, karena satu dan lain hal, menyebabkan terbentuknya kelas-kelas status sosial serta memperlebar jurang antar kelas. Ironis sekali bahwa gagasan yang pada dasarnya cukup baik ini, terpaksa harus membatasi kesempatan banyak orang hanya karena potensi-potensi mereka tidak terukur oleh metoda test kecerdasan konvensional–test IQ. Hal ini melahirkan gelombang gerakan protes dan kritik dari berbagai kalangan, yang sebenarnya telah bermula sejak gagasan IQ diterima kalangan luas. Gerakan anti-IQ yang paling signifikan terjadi di Inggris sekitar tahun 1960-an. Ketika itu, mengadopsi sistem seleksi berbasis IQ yang sangat ketat bagi anak-anak berumur belasan tahun yang masuk ke sekolah-sekolah negeri. Gerakan ini secara umum tidak ditujukan pada metoda itu sendiri, namun pada penerapannya yang kurang bijaksana. Jadi secara konseptual, masyarakat luas tetap menyadari arti penting aspek kecerdasan ini sebagai satu-satunya aspek yang dominan dalam mengkarakterisasi diri manusia. Kritik terhadap IQ sendiri tidak menjadi pendorong yang utama untuk gerakan anti-IQ yang justru semakin meluas memasuki dekade berikutnya. Bahkan pada tahun 1971 US Supreme Court telah memutuskan untuk menghapuskan penggunaan metoda test IQ untuk masalah-masalah perekrutan dan kepegawaian, kecuali dalam kasus-kasus tertentu.
Yang perlu ditekankan di sini bukanlah pada betapa test IQ itu ternyata kurang efektif dalam menyeleksi orang berdasarkan aspek kecerdasannya saja, namun pada betapa konsep kecerdasan ini telah membentuk konsepsi diri manusia yang parsial dan reduksionistik–sebagai akibat dari ketiadaan konsep diri manusia seutuhnya dalam tradisi filosofis dan budaya barat yang berlaku saat itu hingga kini. Barangkali akan lain halnya, jika konsep dan metoda test kecerdasan IQ ini muncul dalam tradisi filosofis yang memandang potensi-potensi diri manusia secara utuh. Besar kemungkinannya gagasan IQ ini akan melengkapi konsepsi integral yang ada ke dalam sebuah kerangka kerja yang koheren dengan sebuah metoda praktis yang akan bermanfaat dalam memahami dan menyelidiki fenomena kesadaran manusia lebih jauh lagi.
Meski respon kritis secara teoritik atas penaksiran kecerdasan berbasis IQ ini telah muncul sejak sebermula awal masa kelahirannya, namun baru satu dekade akhir abad ini kita mengenal suatu rumusan-rumusan psikologi populer yang mengemas kontribusi-kontribusi studi dan riset dari para penyelidik kecerdasan sebelumnya dengan cukup baik. Dalam awal tahun 1990-an kita mengenal istilah Emotional Intelligence diusulkan oleh Daniel Goleman. Belakangan ini menjadi populer pula istilah Spiritual Intelligence, yang diusulkan oleh pasangan Danah Zohar dan Ian Marshall. Meski secara esensial tidak terdapat sebuah terobosan ilmiah yang betul-betul baru dalam gagasan-gagasan mereka ini, namun para pakar ini telah berhasil mensintesakan, mengemas, dan mempopulerkan sekian banyak studi dan riset terbaru di berbagai bidang keilmuan ke dalam sebuah formulasi yang cukup populer untuk menunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari sekedar apa yang semula biasa kita maknai dengan kecerdasan.
Goleman mempopulerkan pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut. Ia menyebutnya dengan istilah kecerdasan emosional dan mengkaitkannya dengan kemampuan untuk mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut, kemampuan untuk berempati, dll. Jika kita tidak mampu mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif, demikian menurut Goleman. Sementara itu Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna, untuk ini mereka mempergunakan istilah kecerdasan spiritual (SQ). Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini dalam pandangan mereka meliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang sesuatu secara holistik, serta berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya, dll. Sebagai konsekuensi melibatkan konteks nilai dan makna dalam aspek berkecerdasan manusia, maka SQ sebetulnya mengalamati pelik-pelik ontologis dan epistemologis dalam mencermati aspek-aspek kecerdasan/kesadaran diri manusia secara utuh. Di sini barangkali kita bisa berharap akan adanya sebuah sintesa bangunan kerangka kerja yang koheren dan komprehensif untuk mendekati konsepsi diri manusia dengan segenap aspek-aspeknya yang tak terpisahkan, meskipun pada kenyataannya Zohar tidak menyelesaikan masalah ini dengan cukup terperinci dan lebih memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek aplikasi praktisnya.
Namun, EQ dan SQ ini pun pada dasarnya tidak akan banyak membantu kita–yang telah terbiasa memahami apa-apa yang berlangsung di dalam benak kita dalam istilah-istilah intelligent dan quotient–seandainya kita tidak memiliki visi yang fundamental dan menyeluruh dalam memandang aspek-aspek kedirian manusia secara utuh. Kita menyadari bahwa gelombang antusiasme yang berlebihan terhadap kedua formulasi kecerdasan ini alih-alih bermanfaat, mungkin malah akan berbalik membatasi dan mematikan banyak aspek dan potensi manusia yang belum terjamah. Di sisi lain, kita dituntut untuk sedapatnya memanfaatkan formulasi kecerdasan ini dalam rangka membangun sebuah konsepsi manusia yang utuh, radikal dan fundamental serta menerjemahkannya secara strategis dalam langkah-langkah praktis agar dapat mengatasi masalah-masalah aktual di negeri kita.
III. Neuroscience dan Kesadaran Manusia
Seperti telah terungkap di atas, secara umum EQ dan SQ memiliki kesepakatan untuk memandang aspek-aspek kecerdasan manusia lebih dari sekedar aspek kognitif konvensional yang terukur dengan metoda test IQ. Keduanya pun sama-sama dirumuskan berdasarkan hasil-hasil penelitian dalam bidang psikologi dan neuroscience terbaru, yang semakin berkembang terutama akibat kemajuan teknologi instrumentasi kedokteran yang dapat mengamati aktivitas-aktivitas vital sistem syaraf pusat dan organ-organ lainnya dengan metoda visualisasi yang cukup canggih. Hasil-hasil penelitian ini, terutama dalam bidang neuroscience, digunakan sebagai basis untuk mendukung formulasi-formulasi EQ dan SQ. Sementara EQ merujuk pada penemuan-penemuan penting dari Joseph LeDoux tentang fungsi organ amigdala pada batang rongga otak, maka SQ merujuk pada hasil-hasil penelitian terutama dari Rudolfo Llinas tentang proses-proses gelombang elektromagnetik (electroencephalogram dan magnetoencephalogram) syaraf pusat yang berfungsi sebagai pengintegrasi persepsi.
LeDoux mengamati bahwa gejala-gejala emosi yang sebelumnya dianggap berlangsung sebagai akibat dari aktivas-aktivitas fungsional otak besar, neokorteks dan sistem limbik, ternyata sebagian besar berlangsung pula sebagai akibat dari organ amigdala yang terletak di bagian dalam tengah otak kita. Dalam eksperimennya, LeDoux mengamati bahwa organ ini mengalami peningkatan aktivitas seiring dengan respon-respon emosional manusia. Ketika syaraf sensorik kita teraktivasi oleh respon inderawi dari luar (misalnya retina mata kita yang menerima cahaya/objek visual dan mengaktifkan syaraf optik), maka impuls syaraf ini akan diterima oleh thalamus–sebuah bagian di dalam otak yang menerjemahkan stimuli impuls syaraf menjadi bentuk-bentuk yang dipahami oleh otak–untuk memudian diterima oleh neokorteks dan korteks visual yang mengolahnya dan merangsang amigdala apabila stimulinya bersifat emosional. Namun ternyata menurut LeDoux, sebagian besar sinyal semula dari thalamus ini langsung menuju amigdala tanpa melewati neokorteks/tanpa melalui proses konvensional, dengan transmisi yang lebih cepat sehingga memungkinkan terjadinya respon yang lebih cepat (meskipun relatif kurang akurat). Jadi LeDoux meyakini bahwa amigdala dapat memicu suatu respon-respon yang terkait dengan aktivitas emosional sebelum otak besar kita memahami betul apa yang terjadi, bahkan lebih jauh lagi sistem emosi ternyata dapat bekerja sendiri tanpa partisipasi kognitif: perasaan memiliki kecerdasannya sendiri. Bukti ilmiah inilah yang dijadikan sebagai pendukung argumentasi Goleman bahwa EQ adalah syarat utama penggunaan IQ secara efektif, yang kemudian mengkaitkan beberapa sikap mental tipikal yang terkait dengan EQ–kesadaran untuk memahami perasaan diri sendiri dan orang lain, empati, kasih-sayang, motivasi, serta kemampuan untuk merespon secara wajar atas situasi-situasi bahagia atau sedih.
Sistem ‘kognisi’ emosional yang dijelaskan oleh LeDoux terjadi melalui aktivitas-aktivitas fungsional organ-organ syaraf pusat di kepala kita, terbentuk dari suatu interaksi paralel dari ratusan ribu jalinan sel syaraf yang terhubung dan bekerja secara paralel dalam suatu kumpulan jaringan syaraf yang amat masif. Jaringan syaraf inilah yang melandasi dinamika sistem emosional sebagaimana yang diungkapkan oleh Goleman. Menurutnya, jaringan yang bekerja secara paralel ini bertanggung jawab terhadap aspek-aspek kecerdasan emosional yang seluruhnya terkait dengan dorongan-dorongan perasaan, pembentukan kebiasaan/habituasi, dan pengenalan pola-pola. Mekanisme syaraf yang paralel ini melengkapi mekanisme lintasan-lintsan jalur syaraf yang terhubung secara serial yang memungkinkan otak besar kita untuk menelusuri aturan-aturan, untuk berpikir secara logis dan rasional, dan sekuensial yakni aspek-aspek kognisi yang biasa kita kaitkan dengan kecerdasan IQ.
Namun tentu saja, aktivitas kecerdasan dan kesadaran manusia tidak hanya terbentuk dari mekanisme serial dan paralel yang terpisah seperti ini saja, karena kedua mekanisme ini sendiri bekerja secara bersama-sama dalam satu kesatuan kesadaran yang berpusat di otak. Bagaimana kedua bentuk organisasi syaraf serial dan paralel yang saling terpisah ini bisa membentuk sebuah persepsi dan kesadaran yang utuh dikenal dengan nama ‘binding problem.’ Persoalan ini pertama kalinya didekati oleh ahli syaraf dari Austria, Wolf Singer, pada pertengahan tahun 1990-an. Singer berhasil menunjukkan bahwa terdapat suatu proses syaraf yang berlangsung dalam otak yang didedikasikan untuk menyatukan pengalaman-pengalaman yang terpisah serta memberikannya suatu konteks makna. Sebelum hasil penelitian Singer tentang gelombang syaraf sinkron yang menyatukan mekanisme syaraf seluruh otak ini, para ahli syaraf dan cognitive scientist hanya mengenali dua bentuk organisasi dalam susunan syaraf pusat kita. Belakangan kemudian hasil penelitian Singer ini dikembangkan kemudian oleh Rudolfo Llinas dengan meneliti aktivitas kesadaran pada saat tertidur dan terbangun serta pengikatan peristiwa-peristiwa kognitif dalam otak.
IV. Teori Kognisi Kontemporer
Dalam teori kontemporer tentang sistem-sistem hidup, pikiran/kesadaran bukanlah sebuah objek atau entitas benda, namun sebuah proses. Proses ini adalah proses kognisi – proses untuk memahami–proses berkecerdasan, yang teridentifikasi dengan proses kehidupan itu sendiri. Teori kontemporer ini dikenal dengan sebutan Teori Kognitif Santiago, yang digagaskan oleh Humberto Maturana dan Fransisco Varela, dari Universitas Santiago, Chili.
Hubungan antara pikiran, atau kognisi dengan proses hidup, merupakan hal yang sama sekali baru dalam dunia sains modern, namun telah lama dikenal dalam tradisi-tradisi lama. Peradaban pramodern dalam berbagai tradisi kebudayaannya memandang bahwa kesadaran rasional/pikiran manusia hanyalah satu aspek dari jiwa manusia sejati yang immateri. Oleh karena itu, dikotominya yang paling mendasar tidak terletak antara tubuh (body) dengan pikiran (mind), namun antara tubuh (body) dengan jiwa (soul), atau tubuh (body) dengan ruh (spirit) . Perbedaan antara jiwa dengan ruh berfluktuasi di setiap zaman dan hampir dianggap tak signifikan lagi perbedaannya pada masa kini. Namun, perlu diperhatikan bahwa bahasa-bahasa peradaban pramodern yang sangat ketat dalam menggunakan kata (berbeda halnya dengan era posmodern kini), membedakan kedua istilah jiwa dan ruh ini, misalnya dalam rumpun bahasa Yunani (psyche-pneuma), Latin (anima-spiritus), Semit (nafs-ruh), Sanskerta (atman), Timur Jauh (chi), dll. Meskipun secara etimologis kedua istilah untuk jiwa dan ruh ini memiliki nuansa yang dekat (nafas, hidup), dua istilah ini secara umum membawakan dua gagasan yang berbeda, yakni aktivitas kesadaran esensial manusia dengan daya hidup manusia.
Gagasan intuitif yang mendasari penggunaan istilah-istilah dan konsep-konsep dalam kebudayaan pramodern ini adalah bahwa ruh sebagai nafas kehidupan. Serupa dengan itu pula, maka konsep kognisi dalam teori Santiago melampaui kognisi sebagai pikiran rasional karena teori ini melibatkan segenap proses hidup. Jelas bahwa dalam teori kognisi baru ini kita berhadapan dengan suatu ekspansi radikal atas konsep-konsep konvensional yang mendasari IQ, EQ, dan SQ yang mendasarkan aspek kecerdasan dan kesadaran manusia pada aktivitas-aktivitas otak sebagai organ komputasional. Dalam pandangan teori kognisi Santiago ini, kognisi melibatkan seluruh proses hidup–bahkan proses kognisi tidak memprasyaratkan adanya otak ataupun sistem syaraf. Dalam hal ini bahkan bakteria pun dapat mempersepsi karakteristik-karakteristik tertentu dalam lingkungan mereka. Bakteria ini dapat merasakan perbedaan kimiawi di sekeliling mereka, dan berenang menuju larutan gula dan menghindari dari asam, merasakan dan menghindari panas, menjauhi atau mendekati sinar matahari, bahkan beberapa jenis bakteria dapat mendeteksi medan magnetik: sebuah bentuk perilaku yang cerdas.
Teori kognisi Santiago berakar pada konsep cybernetics yang pertama kali digagaskan oleh Norbert Wiener pada tahun 1948. Kata itu sendiri didefinisikan langsung dalam judul buku yang ditulis sendiri oleh Wiener, Cybernetics; Control and Communication in the Animal and the Machine. Konsep ini berkembang dalam suatu gerakan intelektual yang berupaya mendekati pengkajian ilmiah atas kesadaran manusia dan ilmu pengetahuan dari suatu perspektif sistemik dan interdisipliner yang melampaui kerangka kerja psikologi dan epistemologi tradisional. Pendekatan ini dalam bidang psikologi secara bebas seringkali diistilahkan sebagai cognitive science (sains kognitif).
Cybernetics berkontribusi terhadap bidang sains kognitif dengan model kognisi konvensionalnya yang pertama. Salah satu premis dari model ini adalah bahwa kecerdasan manusia menyerupai ‘gejala kecerdasan’ yang dimiliki oleh komputer pada suatu tingkatan dimana kognisi dapat didefinisikan sebagai sistem pengolahan informasi, yakni sebagai manipulasi simbol-simbol yang didasarkan pada sekumpulan aturan-aturan tertentu. Berdasarkan model ini, proses kognisi melibatkan suatu konsep yang disebut sebagai representasi mental. Seperti halnya sebuah komputer, pikiran dimodelkan sebagai sesuatu yang bekerja dengan cara memanipulasi simbol-simbol yang merepresentasikan ciri tertentu dari dunia diluarnya. Aktivitas mental yang termodelkan sebagai komputer ini mendominasi seluruh penelitian dalam bidang sains kognitif selama lebih dari tiga puluh tahun. Model kecerdasan IQ sepenuhnya dijelaskan dalam term-term model sains kognitif ini, demikian pula halnya dengan model-model kecerdasan EQ dan SQ secara umum.
Gagasan bahwa otak adalah suatu organ pengolah informasi telah mempengaruhi hampir seluruh penelitian dalam bidang neurobiologi. Sebagai contoh, dalam salah satu penelitian tentang visual korteks (salah satu bagian dari korteks otak yang bertanggung jawab terhadap sensasi visual) nampak bahwa beberapa sel syaraf tertentu merespon ciri-ciri tertentu dari objek yang sedang diamati: kecepatan, warna, kontras, dll. Sel-sel syaraf yang memiliki kekhasan ini dianggap mengambil suatu informasi tertentu dari retina, untuk dilewatkan ke daerah otak lainnya untuk diproses lebih lanjut. Namun dalam penelitian selanjutnya, nampak jelas bahwa percobaan sebelumnya yang menunjukkan kaitan antara sel-sel syaraf tertentu dengan karakteristik khusus tertentu hanya dapat didemonstrasikan pada hewan-hewan percobaan yang terbius dan dalam kondisi-kondisi lingkungan internal dan eksternal yang sangat terkendali. Namun jika percobaan dilakukan pada hewan dalam kondisi biasa dalam lingkungan yang tipikal, respon-respon syarafnya menjadi lebih sensitif terhadap konteks rangsangan visual secara keseluruhan dan tidak dapat lagi diinterpretasikan dengan penjelasan-penjelasan pengolahan informasi yang bertahap secara sekuensial.
Model komputer atas otak manusia ini mulai diragukan terutama setelah dikenalnya konsep autopoiesis/self-organizing–diajukan oleh Maturana pada tahun 1970-an–yang memberikan alternatif lain terhadap model sains kognitif terhadap otak manusia ini. Self-organization adalah salah satu karakteristik yang paling esensial dari organisme hidup. Karakteristik ini menggambarkan kemampuan suatu sistem hidup untuk mengorganisasikan komponen-komponen subsistemnya secara mandiri dalam kaitan interaksinya dengan struktur internal dan lingkungan sekitarnya. Seluruh gagasan baru ini memunculkan keraguan baru terhadap model komputasional dari organ otak manusia yang secara umum diakibatkan oleh dua masalah besar dalam model ini. Masalah yang pertama adalah bahwa model otak sebagai pusat pengolah informasi yang bekerja secara sekuensial atau setahap demi setahap dalam suatu waktu, dan masalah yang kedua adalah bahwa fungsi-fungsi tertentu terlokalisasi dalam daerah-daerah otak tertentu pula. Kedua karakteristik dalam model ini sangat bertentangan dengan observasi-observasi ilmiah kontemporer terhadap otak manusia. Proses-proses visual yang dilakukan oleh serangga yang paling primitif pun, ternyata jauh lebih cepat dari pada apa yang mungkin dikerjakan oleh model-model komputasional secara sekuensial; dan otak manusia ternyata tidak terdegradasi fungsinya secara signifikan apabila ada salah satu bagiannya yang tidak berfungsi dengan baik. Kedua contoh sederhana ini mengajukan keberatan terhadap model komputasional sekuensial tadi.
Hasil-hasil observasi ini mengusulkan adanya suatu pergeseran perhatian dari manipulasi simbol ke konektivitas antar subsistem, dari aturan-aturan lokal ke koherensi global, dari pengolahan informasi ke sifat-sifat emergent dari jaringan syaraf. Perkembangan dan minat penelitian dalam bidang matematika nonlinear dan model-model sistem kompleks belakangan ini, memungkinkan hasil-hasil temuan-temuan ilmiah untuk dielaborasi lebih lanjut guna menemukan struktur-struktur metasistemik pada gejala-gejala yang emergent dalam aspek kesadaran manusia.
Teori kognisi Santiago pada awalnya berasal dari serangkaian penelitian terhadap jaringan syaraf dan juga terkait erat dengan konsep self-organizing dari Maturana. Sebagaimana digagaskan oleh Maturana, proses kognisi adalah aktivitas yang terkait dengan proses-proses pembentukan mandiri jaringan-jaringan self-organizing. Atau dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan dalam kata-kata Maturana, ’sistem-sistem hidup adalah sistem-sistem kognitif,’ dan ‘hidup sebagai suatu proses adalah suatu proses kognisi.’ Lebih jauh lagi, teori ini menggagaskan suatu fenomena yang mendasari proses kognisi yang disebut sebagai penggabungan struktural. Sistem autopoietik/self-organizing mengalami perubahan struktural yang berkelanjutan sementara melestarikan pola organisasinya yang terjalin satu dengan lain. Suatu sistem hidup tergabung dengan lingkungannya secara struktural, yakni melalui interaksi-interaksi yang berulang, yang pada setiap waktunya memicu perubahan-perubahan struktural dalam sistem. Namun, menurut Maturana, sistem hidup adalah sistem yang otonom. Lingkungan hanya memicu perubahan-perubahan struktural; lingkungan tidak mengarahkan atau menginstruksikan perubahan-perubahan ini.
Sistem-sistem hidup tidak sekedar mengarahkan dan mengkarakterisasi perubahan-perubahan struktural ini, namun juga menginstruksikan gangguan-gangguan mana dari lingkungan yang boleh memicu terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur dirinya. Hal ini merupakan salah satu gagasan kunci dari teori kognisi Santiago. Perubahan struktur dalam suatu sistem adalah suatu perilaku kognisi. Dengan menentukan gangguan-gangguan mana dari suatu lingkungan yang memicu perubahannya, maka sistem ini mengkreasi dunianya sendiri. Kognisi, karena ia bukanlah merupakan sebuah representasi dari dunia independen yang ada di luar suatu sistem, namun merupakan sebuah proses penciptaan dunia secara terus-menerus melalui proses hidup. Interaksi dari suatu sistem hidup dengan lingkungannya adalah interaksi kognitif, sebagaimana proses hidup itu sendiri adalah proses kognitif.
Seperti telah diungkapkan dalam contoh tentang bakteria di atas, jelas bahwa konsekuensi dari teori kognisi Santiago ini mengakibatkan sebuah pergeseran yang radikal dalam hal konsep tentang kognisi dan dengan sendirinya pula konsep tentang kesadaran. Dalam pandangan teori kognisi kontemporer ini, kognisi melibatkan seluruh proses hidup–proses yang berlangsung sebagai akibat dari dua entitas: materi biologis dan nyawa, atau jasad dan ruh–dalam segenap proses persepsi, emosi, perilaku, dll. dengan tidak memprasyaratkan adanya sistem jaringan syaraf ataupun organ otak. Seperti pada kasus bakterium tadi yang memiliki jasad dan nyawa, ia mempersepsi karakteristik tertentu dari lingkungan tempatnya hidup: ia menciptakan dunianya sendiri. Ia menginderai gradien perbedaan kimiawi di sekitarnya, dan berperilaku cerdas dengan berenang mendekati laurtan glukosa dan menghindari larutan asam; ia merasakan dan menghindari panas, bergerak menjauhi atau malah mendekati cahaya, dan pada beberapa jenis bakteria bahkan mendeteksi medan magnetik bumi. Bakterium ini menciptakan dunianya sendiri, dunia terang dan gelap, dunia hangat dan dingin, medan magnetik dan gradien kimiawi.
Jangkauan interaksi yang dimiliki oleh suatu sistem hidup dengan lingkungannya, mendefinisikan domain kognitifnya. Seiring dengan bertambahnya level kompleksitas organisme hidup, demikian pula domain kognitifnya. Organ otak dan sistem jaringan syaraf pada manusia menunjukkan suatu ekspansi yang signifikan atas domain kognitif suatu organisme. Pada level kompleksitas seperti pada manusia, penggabungan struktural ini tidak hanya terjadi dengan lingkungannya namun juga dengan dirinya sendiri, dan oleh karena itu tidak hanya menciptakan dunia yang terkait dengan lingkungan eksternal, namun juga dengan lingkungan internalnya. Pada manusia, perpaduan struktural yang terkait dengan lingkungan internal ini berkaitan erat dengan gejala-gejala kebahasaan, pikiran, dan kesadaran.
Daftar Pustaka:
1. Bateson, Gregory; Steps to an Ecology of Mind. New York: Ballantine, 1972
2. Bateson, Gregory; Mind and Nature. New York: Ballantine, 1979
3. Capra, Fritjof; The Web of Life, HarperCollins, London, 1996
4. Goleman, Daniel, Kecerdasan Emosional (terjemahan), cet. VII, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997
5. LeDoux, Joseph; Emotion, Memory and The Brain, Scientific American, edisi June, 1994
6. Llinas, Rudolfo dan Urs Ribary; Coherent 40-Hz Oscillation Characterizes Dream State in Humans, Proceeedings of The National Academy of Science, USA, 1993
7. Maturana, H. R. dan F. J. Varela; Autopoiesis: The Organization of the Living, dalam “Autopoiesis and Cognition: The Realization of the Living”, Dordrecht: D. Reidel Publishing Company, 1973
8. Prigogine, Ilya dan Isabelle Stengers; Order out of Chaos, New York: Bantam Books, 1984
9. Russel, Stuart and Peter Norvig; Artificial Intelligence: A Modern Approach, Prentice-Hall Inc., New Jersey, 1995
10.Zohar, Danah and Ian Marshall, Spiritual Intelligence : The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000

8 Kecerdasan Manusia

Manusia memiliki kecerdasan yang dapat dibedakan menjadi 8. Dalam istilah yang lebih populer, kedelapan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia itu adalah :1.Kecerdasan Linguistik : Word Smart
Adalah kecerdasan menggunakan kata-kata secara efektif. Kecerdasan ini sangat berguna bagi para penulis, aktor, pelawak, selebriti, radio dan para pembicara hebat. Kecerdasan juga membantu kesuksesan kariernya di bidang pemasaran dan politik.
Coba anda periksa kepribadian di bawah ini, mana yang merupakan kepribadian anda:
- Suka menulis kreatif di rumah.
- Senang menulis kisah khayal, lelucon dan cerpen.
- Menikmati membaca buku di waktu senggang.
- Menyukai pantun, puisi dan permainan kata.
- Suka mengisi teka-teki silang atau bermain scrable.
Yang manakah kemampuan linguistik anda ??
Jika kamu di sekolah, kampus banyak bicara dan kurang memperhatikan pelajaran atau menikmati menulis puisi di rumah tapi tidak mengerjakan PR, senang bercerita. Kamu mepunyai kecerdasan linguistik. Kembangkanlah potensimu terus. Suatu saat kamu akan menjadi seseorang yang hebat.
2. Kecerdasan Logis- Matematis : Number Smart
Kecerdasan yang satu ini adalah ketrampilan mengolah angka dan kemahiran menggunakan logika dan akal sehat. Ini adalah kecerdasan yang digunakan ilmuwan untuk membuat hipotesa dan dengan tekun mengujinya dengan eksperimen. Ini juga kecerdasan yang digunakan oleh Akuntan pajak, pemrogaman komputer dan ahli matematika.
Coba periksa ketrampilan yang ada pada anda saat ini:
- Menghitung problem aritmatika dengan cepat di luar kepala.
- Menikmati menggunakan bahasa komputer atau progam software logika
- Ahli bermain catur, dan permainan strategi lainnya
- Menjelaskan masalah secara logis
-Merancang Eksperimen
-Suka bermain teka-teki logika
- Mudah memahami sebab-akibat
- Menikmati pelajaran matematika dan IPA serta mendapatkan prestasi yang bagus
Kemampuan logis yang manakah yang saya miliki ??
Inilah kecerdasan yang dikaitkan dengan kecerdasan dalam bersekolah. Jika kamu memiliki kecenderungan kutu buku, mendapat nilai tinggi IPA, menikmati dan berinteraksi dengan komputer, mencoba mencari jawaban yang sulit, maka Kamu berbakat besar dalam kecerdasan ini. Kembangkan terus, suatu saat kamu akan menjadi seorang ilmuwan, akuntan, insinyur, ahli pemrogaman komputer atau mungkin filosofi.
3. Kecerdasan Spasial : Picture Smart
Ini adalah kecerdasan gambar dan bervisualisasi. Kecerdasan ini melibatkan kemampuan untuk menvisualisasikan gambar di dalam kepala seseorang atau menciptakannya dalam bentuk 2 atau 3 dimensi. Seniman atau pemahat serta pelukis memiliki kecerdasan ini dalam tingkat tinggi.
Coba periksa ketrampilan yang menurut kamu ada pada diri kamu:
- Menonjol dalam kelas seni kelas.
- Mudah membaca peta, grafik dan diagram.
- Menggambar sosok orang atau benda persis aslinya
- Mencoret-coret diatas kertas
- Lebih mudah memahami lewat gambar daripada lewat kata-kata ketika sedang membaca.
Jadi yang manakah kemampuan spasial yang anda miliki ??
Seandaianya kamu menonjol dalam kecerdasan ini, kembangkanlah. Karena suatu saat kamu bisa jadi pelukis, pemahat, designer, dan perancang bangun.
4 Kecerdasan Kinestetik- Jasmani : Body Smart
Kecerdasan jasmani adalah kecerdasan seluruh tubuh (atlet, penari, seniman, pantomim aktor) dan juga kecerdasan tangan (montir, penjahit, tukang kay, ahli bedah)
Coba anda piilih ketrampilan yang ada pada diri anda:
- Bergerak-gerak ketika sedang duduk
- Terlibat dalam kegiatan fisik seperti renang, bersepeda, hiking atau bermain skate board.
- Perlu menyentuh sesuatu yang ingin dipelajari.
- Menikmati melompat, gulat dan lari.
- Memperlihatkan kerampilan dalam kerajinan tangan seperti kayu, menjahit, mengukir.
- Menikmati bekerja dengan tanah liat, melukis dengan jari, atau kegiatan “kotor” lainnya.
- Suka membongkar sebuah benda kemudian menyusunnya lagi
Lalu kemampuan kinestetik jasmani apa yang anda miliki sekarang ??
Jika anda tidak betah duduk lama-lama dan lebih suka bergerak, menyukai studi lapangan, maka kamu menonjol dalam kecerdasan ini. Maka kembangkanlah terus.
5. Kecerdasan Musikal: Music Smart
Kecerdasan musical melibatkan kemampuan menyanyikan sebuah lagu, mengingat melodi musik, mempunyai kepekaan irama atau sekedar menikmati musik. Dalam bentuknya yang lebih canggih, kecerdasan ini mencakup para diva dan virtuoso piano di dunia seni dan budaya.
Bakat musik adalah sesuatu bakat yang selam ini dibiarkan atau ditelantarkan di sekolah. Jikalau kamu memiliki bakat ini maka ada baiknya mengembangkan di luar lingkungan sekolah.
6. Kecerdasan Antar Pribadi: People Smart
Kecedasan ini melibatkan kemampuan untuk memahami dan bekerj untuk orang lain. Kecerdasan ini melibatkan banyak hal, mulai dari kemampuan berempati, kemampuan memimpin, dan kemampuan mengorganisir orang lain.
Nah jika kalian sangat populer di kalangan teman-temanmu dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cepat. Maka kamu berbakat dalam kecerdasan ini. Kembangkanlah, suatu saat kamu akan menjadi seorang pemimpin, konselor, pengusaha atau organiser komunitas.
7. Kecerdasan Intra Pribadi: Self Smart
Kecerdasan ini melibatkan kemampuan untuk memahami diri sendiri, kecerdasan untuk mengetahui siapa sebenarnya diri kita sendiri. Kecerdasan ini sangat penting bagi para wira usahawan dan individu lain yang harus memiliki persyaratan disiplin diri, keyakinan, dan pengetahuan diri untuk mengetahui bidang atau bisnis baru.
Jika kamu mampu mengetahui siapa diri kamu sebenarnya, pandai menargetkan dan menentukan target untuk diri sendiri. Kamu percaya diri dan tidak pemalu, maka kamu berbakat dalam kecerdasan ini. Kembangkanlah terus kecerdasan ini karena sangat dibutuhkan dalam kehidupan untuk meraih kesuksesan.
8. Kecerdasan Naturalis: Nature Smart
Kecerdasan naturalis melibatkan kemampuan untuk mengenal bentuk-bentuk alam di sekitar kita: Bunga, burung, pohon, hewan serta flora dan fauna lainny. Kecerdasan ini dibutuhkan di banyak profesi seperti ahli biologi, penjaga hutan, dokter, hewan dan holtikulturalis.
Kita harus ingat bahwa setiap orang memiliki 8 kecerdasan diatas dan setiap harinya digunakan dan dikombinasikannya. Contohnya saja bila pemain sepak bola menggiring bola maka mereka menggunakan kecerdasan kinestetik-jasmani untuk menggiring bola, kecerdasan spasial untuk memvisualisasikan posisi bola setelah lawan menendangnya, dan kecerdasan antar pribadi untuk kerja sama dengan anggota tim lainnya. Akan tetapi mereka memiliki salah satu kecerdasan yang paling dominan yaitu kinestik-jasmani.
Nah sekali lagi untuk menjadi orang yang sukses anda harus bisa mencari dan menemukan kecerdasan yang paling dominan pada diri kamu dan terus mengasahnya agar menjadi talenta dan orang yang sukses dan hebat.

Program pendidikan bagi anak berbakat istimewa

Program pendidikan bagi anak berbakat istimewa

Tugas Kelompok Dosen Pembimbing
Perkembangan Peserta Didik Drs. Yunan Ra’uf, S.Pd, M.Pd


M A K A L A H
Program pendidikan bagi anak berbakat istimewa



Disusun OLEH :

1. Handayani
2. Hijri rizki
3. Kartika apriola
4. Khumaidah
5. Reski anggiya sari
6. Tony anggadha



Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan
Program studi pendidikan bahasa inggris
Universitas riau
2 0 0 8

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunianya kepada kami sebagai penyusun, sehingga pada kesempatan ini penyusun mendapatkan kemudahan dalam pengerjaan makalah ini yang berjudul Program Pendidikan Bagi Anak Berbakat. Banyak pihak yang telah membantu kelancaran penyelesaian makalah ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penyususn ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tim dosen mata kuliah Perkembangan Peserta Didik yang telah memberikan penyusun kesempatan untuk mengerjakan makalah ini
2. Seluruh teman-teman yang telah membantu pengerjaan dalam penyusunan makalah ini

Sebelum dan sesudahnya penyusun menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas seagala kesalahan yang terdapat dalam makalah ini. Semoga karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.


Pekanbaru, 7 Januari 2009

Penyusun






BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Membahas masalah sistem pendidikan di Indonesia, kita tahu bahwa anak usia sekolah ditempatkan secara berjenjang sesuai dengan usianya. Mulai anak usia TK, SD, SLTP dan SMU. Kurikulum yang digunakan bersifat centralized (terpusat), artinya kurikulum yang dipakai untuk seluruh wilayah Indonesia secara umum sama.
Dengan keterbatasan ini, maka ada beberapa hal yang belum tertangani dengan baik, misalnya penanganan anak berbakat. Anak berbakat perlu dipikirkan bagaimana menanggulanginya, sehingga segala kemampuan yang ada pada dirinya dapat tersalurkan melalui suatu lembaga pendidikan khusus. Seperti halnya sekolah luar biasa (SLB) yang menangani anak-anak yang memiliki kelemahan dikarenakan tidak berfungsinya salah satu bagian pada tubuhnya (tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan sebagainya).
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu :
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik.
2. Tujuan Khusus
a) Untuk memahami tentang teori psikoanalisa Sigmund freud
b) Untuk memahami bagaimana aplikasi teori psikoanalisa dalam bidang konseling.

C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam memperoleh informasi yaitu dengan cara mencari bahan-bahan buku, situs internet, dan bahan-bahan lain yang relevan dalam membantu penyusunan makalah ini.


BAB II
ISI
A. Pengertian Anak Berbakat
Menurut definisi yang dikemukakan Renzuli, anak berbakat memiliki pengertian, "Anak berbakat merupakan satu interaksi diantara tiga sifat dasar manusia yang menyatu ikatan terdiri dari kemampuan umum dengan tingkatnya di atas kemampuan rata- rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas'tugas dan kreativitas yang tinggi. Anak berbakat ialah anak yang memiliki kecakapan dalam mengembangkan gabungan ketiga sifat ini dan mengaplikasikan dalam setiap tindakan yang bernilai. Anak-anak yang mampu mewujudkan ketiga sifat itu masyarakat memperoleh kesempatan pendidikan yang luas dan pelayanan yang berbeda dengan program-program pengajaran yang reguler (Swssing, 1985).
Pengertian lain menyebutkan bahwa anak gifted adalah anak yang mempunyai potensi unggul di atas potensi yang dimiliki oleh anak-anak normal. Para ahli dalam bidang anak-anak gifted memiliki pandangan sama ialah keunggulan lebih bersifat bawaan dari pada manipulasi lingkungan sesudah anak dilahirkan.
Menurut Ward (1980) dalam tulisannya: ”Differential Education for The Gifted”, orang dengah tingkat IQ 137 atau lebih, disebut manusia berbakat tinggi (highly gifted). Sedangkan mereka yang mempunyai tingkat IQ dalam rentang 120 – 137 disebut berbakat (moderately gifted). Semuanya mempunyai keberbakatan intelektual (academic talented). Prof. Dr. S.C. Utami Munandar, Ketua Yayasan Indonesia untuk Pendidikan dan Pengembangan Anak Berbakat, menambahkan tingkat Creative Quotient (CQ) harus di atas rata-rata dan juga harus memiliki kemampuan pengikatan diri terhadap tugas (task commitment).
Pintar sering disalahartikan sebagai cerdas, padahal kedua kata ini berbeda. Menurut Kepala Bagian Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dr. Reni Akbar Hawadi, pintar tidak menunjuk pada klasifikasi taraf kecerdasan tertentu. Anak pintar merujuk pada hasil akademiknya yang baik, misalnya nilai rapornya baik (nilai 8, 9, dan 10). Jadi anak pintar belum tentu cerdas. Anak cerdas, karena melihat potensinya, seharusnya pintar.
Masalah yang paling sering dihadapi oleh anak-anak berbakat ini adalah kebosanan. Dalam kelas reguler, mereka cepat sekali menangkap apa yang diajarkan oleh guru. Merasa sudah mengerti, akhirnya mereka lebih senang mengerjakan hal lain. Bahkan sampai mengganggu teman yang lain. Di beberapa sekolah, mereka bahkan digolongkan dalam kategori ”anak bermasalah”. Di sinilah perlunya disusun program pendidikan khusus bagi mereka, termasuk dengan adanya kelas akselerasi.

B. Karakteristik Anak Berbakat
Sebagai mahluk sosial, anak berbakat mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat, pemikiran, sikap dan aktivitas anggota masyarakat yang lain. Dalam pergaulan inilah emosi mereka merasa sedih atau bahagia.
Ditinjau dari budaya, anak berbakat mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang dipengaruhi tingkat kebudayaan di mana mereka memperoleh pengalaman budaya. Selain itu faktor agama akan memberikan dasar dan norma pribadi anak berbakat.
Untuk mengenali karakteristik anak-anak berbakat dapat dilihat beberapa segi diantaranya sebagai berikut
1. Potensi
2. Cara menghadapi masalah
3. Kemampuan (prestasi) yang dapat dicapai.
1. Potensi
Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa anak-anak berbakat memiliki potensi yang unggul. Potensi ini dapat disebabkan oleh faktor keturunan, seperti studi yang dilakukan U. Branfenbrenner (1972) dan Scarr Salaptek (1975) terhadap tingkat kecerdasan. U. Branfenbrenner dan Scarr Salaptek menyatakan secara tegas bahwa sekarang tidak ada kesangsian mengenai faktor genetika mempunyai andil yang besar terhadap kemampuan mental seseorang (Kitano,1986).
Dilihat dari sudut ilmu pendidikan untuk menjelaskan hal tersebut di atas, kita dapat mengikuti penjelasan dari Jane Healy. Penjelasan itu menyatakan bahwa semua wanita harus menyadari pentingnya nutrisi yang baik demi anak yang dikandungnya. Selain itu janin harus terhindar dari keracunan atau pengaruh sinar x yang datang dari luar (Healy, 1978). Dari sudut proses belajar maka faktor kesadaran seperti yang disarankan oleh Healy adalah satu prestasi belajar yang sebelumnya melibatkan proses kompleks. Faktor intelegensi, motivasi, emosi dan sosialisasi sangat menentukan pencapaian hasil atau prestasi belajar dalam bentuk kesadaran.
Menurut penelitan Terman (1925) pada saat anak berbakat dilahirkan memiliki berat badan diatas berat badan normal. Dari segifisik pada umumnya mereka juga memiliki keunggulan seperti terlihat dari berat dan tinggi badan, koordinasi, daya tahan tubuh dan kondisi kesehatan pada umumnya (French, 1959). Mereka juga sangat energik (Meyen, 1978) sehingga orang salah mendiagnosa sebagai anak yang hyperactive (Swassing, 1985).
Anak-anak berbakat berkembang lebih cepat atau bahkan sangat cepat bila dibandingkan dengan ukuran perkembangan yang normal. Bila guru menemukan anak seperti itu maka guru dapat menduga bahwa itu anak-anak yang berbakat. Hal ini disebabkan anak berbakat memiliki superioritas intelektual (Gearheart, 1980), mampu dengan cepat melakukan analisis (Sunan, 1983), dan dalam irama perkembangan kemajuan yang mantap (Swassing, 1985). Bahkan dalam berfikir mereka sering meloncat dari urutan berfikir yang normal (Gearheart, 1980)
Selain potensi intelegensi anak-anak berbakat memiliki keunggulan pada aspek psikologis yang lain, yaitu emosi. Menurut French (1959) dan Gearheart (1980) anak-anak yang berbakat memiliki stabilitas emosi yang mantap sehingga mereka akan mampu mengendalikan masalah-masalah personal (Heward, 1980). Rasa tanggung jawab mereka sangat tinggi serta mempunyai cita rasa humor yang tinggi pula.
Karakteristik sosial yang dimiliki anak-anak berbakat ialah cakap mengevaluasi keterbatasan dan kelebihan yang dimiliki dirinya dan orang lain. Sifat ini akan membuat anak berbakat, tampil bijaksana.
2. Cara menghadapi masalah
Cara menghadapi masalah disini adalah keteriibatan seluruh aspek psikologis dan biologis setiap anak berbakat pada saat mereka berhadapan dengan masalah tersebut. Mereka akan memilih metode, pendekatan dan alat yang strategis sehingga diperoleh pemecahan masalah yang efisien dan efektif. Langkah awal dapat dilihat bahwa setiap anak berbakat mempunyai keinginan yang kuat untuk mengetahui banyak hal (Gearheart, 1980) kemudian mereka akan melakukan ekspedisi dan eksplorasi terhadap pengukuran saja. Setelah berfikir dengan baik maka mereka akan memunculkan hasil pemikiran dalam bentuk tingkah laku. Tingkah laku yang dimunculkan ialah mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara kritis. Pertanyaan ini ditujukan pada diri sendiri atau orang lain (sebaya atau orang dewasa).
Karakteristik yang dimiliki anak berbakat dalam menghadapi masalah diantaranya:
a. Mereka mampu melihat hubungan permasalahan itu secara komprehensif dan juga mengaplikasikan konsep-konsep yang kompleks dalam situasi yang kongkrit.
b. Mereka akan terpusat pada pencapai tujuan yang ditetapkan (Gearheart, 1980)
c. Mereka suka bekerja secara independent dan membutuhkan kebebasan dalam bergerak dan bertindak
d. Mereka menyukai cara-cara baru dalam mengerjakan sesuatu dan mempunyai ntens untuk berkreasi (Meyen, 1978)
3. Prestasi
Prestasi anak berbakat dapat ditinjau dari segi fisik, psikologis, akademik dan sosial. Prestasi fisik yang dapat dicapai oleh anak-anak berbakat ialah mereka memiliki daya tahan tubuh yang prima serta koordinasi gerak fisik yang harmonis (French, 1959).
Anak berbakat mampu berjalan dan berbicara lebih awal dibandingkan dengan masa berjalan anak-anak normal (Swanson, 1979).
Secara psikologis anak berbakat memiliki kemampuan emosi yang unggul dan secara sosial pada umumnya mereka adalah anak-anak yang populer serta lebih mudah diterima (Gearheart, Heward,1980).
Berdasarkan prestasi akademik, anak berbakat pada dasarnya memiliki sistem syaraf pusat (otak dan spinal cord) yang prima. Oleh karena itu anak-anak berbakat dapat mencapai tingkat kognitif yang tinggi. Menurut Bloom kognitif tingkat tinggi meliputi berfikir aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi dan kognitif tingkat rendah terdiri dari berfikir mengetahui dan komprehensif.
Dalam usia yang lebih muda dari anak-anak normal, anak-anak berbakat sudah mampu membaca dan kemampuan ini berkembang terus secara konsisten (Swassing, 1985, French, 1959). Mereka mampu menggunakan perbendaharaan kata yang sudah maju (Ingram, 1983).
Selain memiliki keunggulan-keunggulan diatas anak-anak berbakat mempunyai karakteristik negatif diantaranya (menurut Swassing):
1. Mampu mengaktualisasikan pernyataan secara fisik berdasarkan pemahaman pengetahuan yang sedikit
2. Dapat mendominasi diskusi
3. Tidak sabar untuk segera maju ke tingkat berikutnya
4. Sukaribut
5. Memilih kegiatan membaca dari pada berparfsipasi aktifdalam kegiatan masyarakat, atau kegiatan fisik
6. Suka melawan aturan, petunjuk-petunjuk atau prosedur tertentu
7. Jika memimpin diskusi akan membawa situasi diskusi ke situasi yang harus selalu tuntas.
8. Frustasi disebabkan tidak jalannya aktivitas sehari-hari
9. Menjadi bosan karena banyak hal yang diulang-ulang
10. Menggunakan humor untuk memanipulasi sesuatu
11. Melawan jadwal yang (hanya) didasarkan atas pertimbangan waktu saja bukan atas pertimbangan tugas
12. Mungkin akan kehilangan interns dengan cepat.
C. Kiat Menangani Anak Berbakat
Kemampuan dasar atau bakat luar biasa yang dimiliki seorang anak memerlukan serangkaian perangsang (stimulasi) yang sistematis, terencana dan terjadwal agar apa yang ada, yang dimiliki menjadi aktual dan berfungsi sebaik-baiknya. Membiarkan seorang anak berkembang sesuai dengan azas kematangan saja akan menyebabkan perkembangan menjadi tidak sempurna dan bakat-bakat luar biasa yang sebetulnya memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi tidak berfungsi.
Peran lingkungan sebagai pemicu rangsang sangat besar dalam ikut menentukan sampai di mana tahapan, terealitas dan hasil akhir dari suatu perkembangan dicapai.
Pendidikan khusus yang direncanakan diberikan kepada anak-anak khusus (anak berbakat luar biasa), jelas mempunyai tujuan mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki seorang anak agar bisa mencapai prestasi yang luar biasa, sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pendidik, masyarakat dan pemerintah.
Dalam usaha mempengaruhi perkembangan anak untuk mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki agar berfungsi secara optimal terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar mencapai hasil yang diharapkan, ialah :
a. Faktor yang ada pada anak itu sendiri, yaitu mengenal anak.
Mengenali dalam arti mengetahui semua ciri khusus yang ada pada anak secara obyektif. Dalam usaha memberikan pendidikan khusus kepada anak berbakat perlu terlebih dahulu membedakan beberapa pengertian, yakni:
1) Berbakat luar biasa pada fungsi-fungsi yang berhubungan dengan proses informasi (kognitif) dan karena itu mempengaruhi aspek-aspek lain.
2) Berbakat luar biasa hanya pada salah satu atau beberapa aspek, bisa mengenai aspek kognitif atau aspek yang berhubungan dengan keterampilan-keterampilan khusus. Sedangkan aspek-aspek lain secara umum tergolong biasa saja.
b. Faktor kurikulum yang meliputi:
1) Isi dan cara pelaksanaan yang disesuaikan dengan keadaan anak (Child centered) dan dengan sendirinya telah dilakukan identifikasi mengenai keadaan khusus yang ada pada anak secara obyektif.
2) Perlu ditekankan bahwa kurikulum pada pendidikan khusus hendaknya tidak terlepas dari kurikulum dasar yang diberikan untuk anak lain, Perbedaan hanya terletak pada penekanan dan penambahan sesuatu bidang sesuai dengan kebutuhannya dan tetap terpadu dengan kurikulum dasar.
3) Kurikulum khusus diarahkan agar perangsangan yang diberikan mempunyai pengaruh untuk menambah atau memperkaya program (enrichment program) dan tidak semata-mata untuk mempercepat (accelerate) berfungsi sesuai bakat luar biasa yang dimiliki.
4) Isi kurikulum hams mengarah .pada perkembangan kemampuan anak yang berorientasi inovatif dan tidak reproduktif serta berorientasi untuk mencapai sesuatu dan tidak hanya sekedar memunculkan apa yang dimiliki tanpa dilatih menjadi kreatif.
Kreativitas yang diarahkan agar tertanam sikap hidup yang mau mengabdi, melayani dan mengamalkan pengetahuannya untuk kemajuan mesyarakat bangsa dan negara.

D. Program Pendidikan Bagi Anak berbakat
1. Perencanaan Program
Perencanaan diperlukan untuk menentukan program yang sesuai dengan anak (siswa), harapan orang tua, pilosofi sekolah, ketersediaan tenaga pengajar, dan kesiapan perangkat pendukungnya harus seimbang

2. Komponen Program
Renzulli (1975) menyebutkan ada 7 (tujuh) kunci pokok agar program pendidikan anak berbakat dapat berhasil
1. Penyeleksian dan pelatihan guru
2. penyusunan kurikulum bertujuan untuk mengembangkan potensial yang ada pada siswa baik dalam bidang akademik maupun seni
3. Penyesuaian dan identifikasi prosedur
4. Semboyan dan tujuan yang mendukung pembedaan program bagi anak berbakat
5. Kerja sama untuk memperkenalkan pengatahuan baru
6. Rencana evaluasi
7. Penjelasan pertanggungjawaban administrasi

3. Tujuan Program
Tujuan utama program yaitu untuk memberikan kesempatan bagi siswa agar menemukan kebutuhannya yang tidak ditemui dalam kelas reguler
Dengan demikian mereka dapat “meledakkan” potensial yang dimiliki secara maksimal
Jadi dapat disimpulkan bahwa, secara umum, suatu program bagi anak berbakat harus mampu untuk;
1. Menyediakan kesempatan dan pengalaman invidu sesuai dengan kebutuhannya yang terus dapat mereka kembangkan
2. Menciptakan lingkungan yang baik dan meningkatkan kecerdasan ketertarikan, talenta, perkembangan afektif dan kemampuan intuisi
3. Kesempatan untuk kerjasama dan partisipasi aktif dari siswa dan orang tua
4. Memberikan waktu, ruang dan dorongan bagi siswa untuk menemukan jati diri, kekuatannya, kemampuannya dan segala kemungkinan yang mampi diraihnya
5. Memberikan kesempatan siswa untuk berinteraksi dengan anak-anak, teman sebaya, dan orang dewasa dengan kemampuan yang berbeda.
6. Mendorong siswa untuk menemukan tempatnya dalam masyarakat dan apa yang dapat dilakukannya

E. Pelaksanaan Pendidikan Anak Berbakat
Mengingat bahwa anak berbakat memiliki kemampuan dan minat yang amat berbeda dari anak-anak sebayanya, maka agak sulit jika anak berbakat dimasukkan pada sekolah tradisional, bercampur dengan anak-anak lainnya. Di kelas-kelas seperti itu akan terjadi dua kerugian, yaitu: (1) anak berbakat akan frustrasi karena tidak mendapat pelayanan yang dibutuhkan, dan (2) guru dan teman-teman kelasnya akan bisa sangat terganggu oleh perilaku anak berbakat tadi.

a. Percepatan (akselerasi)
Meloncatkan anak pada kelas-kelas yang lebih tinggi (skipping). Sesuai dengan keadaannya di mana usia mental (mental age) pada anak berbakat lebih tinggi dari usia sebenarnya (cronological age), maka mudah timbul perasaan tidak puas belajar bersama dengan anak-anak lain seumurnya. Meskipun banyak aspek perkembangan lain pada anak ternyata memang lebih maju dari pada anak-anak seumurnya, misalnya aspek sosial, akan tetapi cara percepatan dengan meloncatkan anak pada kelas-kelas yang yang lebih 'tinggi dianggap kurang baik, antara lain karena mempermudah timbulnya' masalah-masalah penyesuaian, baik disekolah, di rumah maupun di lingkungan sosialnya. Kecuali norma yang dipakai adalah norma dari kelas tinggi, yang belum tentu sesuai seluruhnya bagi anak karena norma yang diikuti bukan norma dari anak berbakat itu sendiri.
Percepatan yang diberikan kepada anak berbakat untuk menyelesaikan bahan pelajaran dalam waktu yang lebih singkat sesuai dengan kemampuannya yang istimewa.
Cara seperti ini oleh Samuel A. Klik dan James Gallagher disebut sebagai "telescoping grades", Sebenarnya cara ini tergolong cara yang baik karena diberikan dan diselesaikan ditentukan oleh keadaan, kebutuhan dan kemampuan anak itu sendiri.
Program akselerasi dapat dilakukan dengan cara “lompat kelas”, artinya anak dari Taman Kanak-Kanak misalnya tidak harus melalui kelas I Sekolah Dasar, tetapi misalnya langsung ke kelas II, atau bahkan ke kelas III Sekolah Dasar. Demikian juga dari kelas III Sekolah Dasar bisa saja langsung ke kelas V jika memang anaknya sudah matang untuk menempuhnya. Jadi program akselerasi dapat dilakukan untuk: (1) seluruh mata pelajaran, atau disebut akselerasi kelas, ataupun (2) akselerasi untuk beberapa mata pelajaran saja. Dalam program akselerasi untuk seluruh mata pelajaran berarti anak tidak perlu menempuh kelas secara berturutan, tetapi dapat melompati kelas tertentu, misalnya anak kelas I Sekolah Dasar langsung naik ke kelas III. Dapat juga program akselerasi hanya diberlakukan untuk mata pelajaran yang luar biasa saja. Misalnya saja anak kelas I Sekolah Dasar yang berbakat istimewa dalam bidang matematika, maka ia diperkenankan menempuh pelajaran matematika di kelas III, tetapi pelajaran lain tetap di kelas I. Demikian juga kalau ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat maju dalam bidang bahasa Inggris, ia boleh mengikuti pelajaran bahasa Inggris di kelas V atau VI.
Kesulitannya ialah pengaturan administrasi sekolah yang meliputi pengaturan-pengaturan tenaga pengajaran karena hams memberikan pelajaran secara individual kepada anak. Pada anak sendiri dikhawatirkan oleh para ahli akan timbul kesulitan dalam penyesuaian diri, baik sosial maupun emosional karena terbatasnya hubungan-hubungan sosial dengan teman-teman sebayanya.
b. Pendidikan dalam kelompok khusus (special grouping segregation)
1) Model A
Kelas biasa penuh ditambah kelas khusus (mini). Cara ini bisa dilakukan disetiap sekolahkarena anak berbakat mengikuti secara penuh acara di sekolah dan setelah itu memperoleh pelajaran tambahan dalam kelas khusus.
Waktu belajarnya bertambah dan mata pelajaran dasar atau yang berhubungan dengan kemampuan khusus (misalnyamatematika) ditambah.kerugian pada anak ialah :
a) Berkurangnya waktu untuk melakukan kegiatan lain yang diperlukan untuk memperkembangkan aspek kepribadiannya, misalnya pergaulan, olah raga dan kesenian.
b) Pada waktu anak mengikuti kelas biasa, ia merasa bosan dan pada anak-anak yang masih kecil, kemungkinan mengganggu teman-temannya bertambah.
c) Di kelas biasa anak tidak terlatih bersaing dan bekerja keras untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
2) Model B
Pada model ini anak mengikuti kelas biasa tetapi tidak seluruhnya (bisa 75%, 60%, 50%) dan ditambah dengan mengikuti kelas khusus.
Jumlah jam pelajaran tetap dan hal ini menguntungkan anak sehingga ia masih mempunyai waktu untuk melakukan dalam mengembangkan aspek-aspek kepribadiannya.
Keuntungan lain ialah jumlah jam belajar. yang cukup lama di kelas khusus (meskipun mungkin kelas mini) masih memperoleh kesempatan bersaing dengan teman-teman yangmempunyai potensi berbeda.
Kerugian pada anak sendiri ialah seperti pada model A yakni ketika berada di kelas bisatumbuh perasaan bosan dan mungkin mengganggu semua mata pelajaran adalahmudah akibat mudah tumbuhnya perasaan sombong dan terlalu percaya diri.
3) Model C
Pada model ini semua anak berbakat dimasukan dalam kelas secara penuh. Kurikulum dibuat secara khusus demikian pula guru-gurunya. Keuntungan pada model ini ialah mudah mengatur pelaksanaannya dan pada murid sendiri merasa ada persaingan dengan teman-temannya yang seimbang kemampuannya dan jumlah pelajaran serta kecepatan dalam menyelesaikan suatu mata pelajaran bisa disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan anak. Kerugian akan terjadi pada anak-anak normal yang sebaya, sehinga proses sosialisasi di sekolah menjadi berkurang. Perlakuan istimewa oleh pihak sekolah dan guru-guru mudah menimbulkan perasaan harga diri yang berlebihan (superiority Complex) Karena dalam kenyataannya ia berada dalam kelas yang eksklusif.
4) Model D
Pada model ini, merupakan sekolah khusus yang hanya mendidik anak berbakat. Dari sudut administrasi sekolah jelas mudah diatur. Tapi dari sudut anak banyak kerugiannya karena dengan mengikuti pendidikan sekolah khusus, anak terlempar jauh dari lingkungan sosialnya dan menjadi anggota kelompok sosial khusus dan istimewa. Perkembangan aspek kepribadian sangat mengkhawatirkan karena kurangnya kemungkinan untuk mendefinisasikan aspek-aspek kepribadian seluas-luasnya. Dalam hal ini bisa dicapai melalui pergaulan yang luas dan bervariasi, nilai sebagai anggota masyarakat, ia akan mudah merasa sebagai anggota masyarakat dengan kelas dan tingkatan tersendiri dan sulit menyesuaikan diri.

F. Beberapa Kegiatan Dalam Implementasi Kurikulum Bidang Studi Tertentu
Beberapa kegiatan khusus akan diuraikan secara kongkrit sebagai sampel (contoh-contoh) program dalam menjalankan kurikulum anak berbakat di SD.
a. Membaca
Mata pelajaran yang paling mudah dipenuhi dan paling banyak manfaatnya adalah memberikan bacaan-bacaan yang sangat berguna dan memberikan pendalaman tentang masalah yang diminatinya.
Seandainya sekolah tidak mempunyai perpustakaan, maka materi dapat diambil dari perpustakaan lembaga lain. Selain itu pemberian bacaan itu dapat dibarengi dengan tugas memberikan komentar dan catatan tentang buku tersebut. Juga "display" tentang materi bacaan yang dikumpulkan dari surat kabar, majalah atau sumber lain. (clipping) tentang topik-topik yang lagi "hangat" dibicarakan di sekolah atau masyarakat banyak membantu. Meskipun anak berbakat gemar membaca, tidak semua masalah dijangkau oleh minatnya. Pengarahan terhadap topik-topik yang relevan perlu diperhatikan gurunya. Demikian pula majalah yang tidak merusak pembentukan kepribadiannya merupakan masalah cukup penting. Pengarahan terhadap catatan, komentar, sugesti yang bagaimana harus diberikan anak berbakat terhadap bacaan berasal dari guru, umpamanya diarahkan; sesudah selesai membaca, beritahu karakter mana yang paling kau sukai atau kagumi dan mengapa ?. Tokoh mana yang paling tidak di sukai dan mengapa ?. Apakah dalam buku itu ada deskripsi Jelas tentang pribadinya secara nyata atau hanya disimpulkan dari kejadian-kejadian yang diceritakan. Moral apa yang terkandung dalam buku tersebut. Pengayaan melalui pelajaran membaca dapat juga dilaksanakan dalam kelompok kecil untuk memperoleh "interaksi yang hidup" dengan teman sebaya.
b. Menulis Kreatif (mengarang)
Kehidupan imaginasi anak berbakat biasanya sangat aktif dan mengarang merupakan sesuatu yang biasanya gemar dilakukannya. Namun ada anak berbakat yang cenderung minatnya ke ilmu pengetahuan alam (I PA) kadang memperoleh kesukaran dalam menyatakan dirinya, meskipun ide-ide dirinya banyak.
Mengarang adalah suatu sarana yang dalam memperoleh keterampilan menyatakan dirinya.
Kebimbangan memilih judul yang sesuai dapat dipancing dan diarahkan melalui.
1) Gambar seseorang atau sesuatu yang diperhatikan
2) "Passage" dalam bacaan seperti "Penerbang roket mengambil tempat duduknya dalam kapsul, menunggu tanda keberangkatannya .
c. Ilmu Pengetahuan Sosial
Pelajaran Sejarah, Pendidikan Kewarga-negaraan (PPKn), dan Ilmu Bumi dapat dikaitkan dengan membaca dan mempelajari berbagai tajuk sejarah maupun ilmu bumi melalui berbagai bacaan.Integrasi dari kedua bacaan ini memungkinkan pendalaman suatu penguasaan yang kongkrit dalam kaitan dengan kedua pelajaran tersebut. Juga menyuruh anak berbakat menemui beberapa tokoh tua di tempat tinggalnya untuk menanyakan peranan dalam perang kemerdekaan kita, dan memungkinkan kaitannya dengan PPKn. Suatu pameran tentang mata uang logam kuno dari negeri sendiri atau negara lain, tata cara pakaian, alat perang dan benda lain dari masa lalu serta pembangunan kini dapat menghidupkan sejarah, ilmu bumi dan PPKn secara integral.
Kejadian aktual seperti perjuangan bangsa Asia dan Afrika, perubahan dalam sistem transportasi, penemuan baru seperti "concorde" dan sebagainya, dengan sendirinya merupakan hal-hal yang akan sangatmenumbuhkan motivasi belajaranak berbakat.
Mata pelajaran lain seperti politik, ekonomi, antropologi sosiologi dan psikologi dapat diberikan secara ilmiah populer. Umpamanya masalah "Intel-group relation" adalah suatu topik yang dapat diperdalam dalam menggunting surat kabar atau majalah mengenai contoh konflik ada atau kerjasama dari kelompok tertentu. Demikian juga kejadian aktual seperti pemilu merupakan permasalahan politik yang dapat dijelaskan dalam kaitan dengan pemerintah. Suatu aktivitas longitudinal dalam hubungan denganekonomi adalah investasi dalam bidang bisnis yang berhubungan dengan usaha sekolah.
Demikian juga suatu masalah antropologi perlu dijelaskan melalui ensiklopedi, misalnya karakteristik mana dalam masyarakat kita yang bersifat universal?
d. IPA dan Pendidikan Kesehatan
Keterampilan proses (proses skills) dalam IPA pada akhir abad ini telah digalakan sebagai metodologi IPA yang membantu anak didik mengaitkan IPA dengan dasar kehidupan. Dalam memecahkan masalah IPA bukan lagi menghapal hukum dan aksioma saja, tetapi pengembangan aktivitas dan eksperimen yang membantu anak didik memperoleh keterampilan mengamati, mengelola, meramalkan suatu gejala serta menilai proses tersebut. Dalam hubungan dengan ini berbagai lomba ilmiah dapat diselenggarakan, atau mengadakan seminar para ahli di bidang IPA dan Kesehatan.
e. Matematika
Untuk mencari jalan terpendek atau termudah dalam menyelesaikan suatu soal matematika patut dilakukan anak berbakat. Pemahaman terhadap hubungan angka dengan membandingkan berbagai metode perkalian, pengurangan atau penambahan merupakan sesuatu yang menarik anak berbakat. Persoalan matematika yang dikaitkan dengan cerita akan sangat melatih keterampilannya. Demikian pula teka-teki angka akan banyak memberi kesempatan melatih keluwesan kemampuan berhitung.
f. Kesenian dan Bahasa
Kreativitas anak berbakat dalam berbagai jenis kesenian dapat kesempatan berkembang dan mudah dikaitkan dengan perkembangan bahasa (umpama drama, deklamasi), Tetapi ada juga kegiatan kesenian yang secara khusus memperkaya perkembangan kesenian tertentu, seperti musik (band sekolah), melukis, membatik dan lain-lain. Kreativitas merupakan satu ciri khas dari anak berbakat. Kreativitas dapat diarahkan melalui berbagai kegiatan positif dan menantang.
g. Metode belajar dan guru
Metode belajar yang paling cocok untuk anak berbakat adalah belajar melalui kelompok kecil atau individual. Bila anak berbakat harus belajar dalam kelas besar, maka prinsip pendekatan full-out enrichment dan akselerasi harus menjadi dasar untuk pengembangan pada perbedaan potensinya. Beberapa persyaratan yang diperlukan guru ialah guru harus seseorang yang memiliki intelegensi tinggi dan mempunyai minat luas dalam berbagai bidang. Minat guru yang ada harus dapat disampaikan dengan baik yang dimiliki orang lain. Keinginan guru belajar mendalami ilmu bersama murid terus menerus merupakan syarat lain yang harus dipenuhi guru anak berbakat.
G. Bagaimana Pendidikan anak Berbakat dalam Konteks Pendidikan Indonesia
Pembinaan bakat dan prestasi berkualitas tinggi penting bagi kelangsungan hidup serta kejayaan bangsa. Hal ini berarti bahwa pendidikan anak berbakat harus berangkat dari landasan konseptual filisofis yang sama untuk digunakan dalam pendidikan biasa. Sebagaimana halnya dengan anak-anak yang mengalami hambatan (handicap) anak berbakat perlu mendapat layanan yang berbeda dari yang diberikan kepada anak-anak. pada umumnya untuk memungkinkan mereka mewujudkan potensinya secara maksimal.
Tujuan pendidikan Indonesia tersirat dalam cita-cita bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam falsafah hidup bangsa, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 dinyatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh pengajaran, dan pemerintah mengusahakan dan melaksanakan satu sistem pengajaran (pendidikan) nasional.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan antara lain bahwa “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus” (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya” (pasal 12, ayat 1b). Hal ini pasti merupakan berita yan gmenggembirakan bagi warga negara yang memiliki bakat khusus dan tingkat kecerdasan yang istimewa untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya.
Dalam Pasal 3, Bab II, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 dituliskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam Seminar yang dihadiri lebih dari 150 peserta Sabtu, 3 Maret 2007 lalu bertempat di Auditorium Indosat, Jakarta, diselenggarakan Seminar Deteksi dan Pendidikan Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa (gifted & talented children) yang terdiri dari orang tua, guru, dokter, dan pemerhati masalah anak gifted-talented ini mengundang Direktur PSLB Mandikdasmen Depdiknas RI yang diwakili oleh Drs. Sutji Harijanto, MM, MPd yaitu Kasubdit Pelaksana Kurikulum Direktorat Pembangunan Sekolah Luar Biasa Mandikdasmen RI, Drs. Sutji mengatakan bahwa warga negara yang memiliki kemampuan berkecerdasan istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran yang berbeda dari pendidikan normal.
Hal ini telah dituangkan dalam Sisdiknas No. 2 tahun 1999 yang diimplementasikan berupa program akselerasi percepatan belajar untuk yang berkemampuan kecerdassan istimewa . Bahkan saat ini sudah terdaftar 54 sekolah yang memiliki program akselerasi.

BAB III
PENUTUP
Simpulan dan Saran
A. Simpulan
Sekolah sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan dan juga sebagai tempat untuk mempersiapkan anak agar dikemudian hari dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. Sekolah tentunya umunya dibentuk dan dikembangkan secara umum. Sistem dan proses pembelajaran umumnya dibentuk secara umum, karena target merupakan anak-anak umumnya.
Anak berbakat, anak yang berbeda dengan anak umumnya. Dengan mengunakan sistem dan standart pemeratan yang lebih mengarah kepada umum, tentunya akan merugikan anak-anak berbakat.
Secara langsung dan tidak langsung, anak berbakat kadang dipaksa untuk mengikuti sistem yang umum. guru memakai standar umum secara sadar atau tidak sadar kepada anak berbakat. Tentunya dengan situasi seperti ini, anak berbakat dapat semakin hari, semakin jauh dengan bakatnya tersebut.
Sebuah bakat bila semakin lama, semakin ditinggalkan dan semakin tidak dilatih tentunya anak akan semakin jauh dengan bakatnya tersebut, bahkan mungkin bakatnya akan terpendam sehingga sulit untuk dihidupkan kembali. bahkan semakin sulit untuk mengetahui bakat anak tersebut.
Masalah yang paling sering dihadapi oleh anak-anak berbakat ini adalah kebosanan. Dalam kelas reguler, mereka cepat sekali menangkap apa yang diajarkan oleh guru. Merasa sudah mengerti, akhirnya mereka lebih senang mengerjakan hal lain. Bahkan sampai mengganggu teman yang lain. Di beberapa sekolah, mereka bahkan digolongkan dalam kategori ”anak bermasalah”. Di sinilah perlunya disusun program pendidikan khusus bagi mereka, termasuk dengan adanya kelas akselerasi.



B. Saran
Mengerti akan perkembangan yang unik dan sangat individual ini agaknya merupakan kunci keberhasilan membimbing anak-anak semacam ini. Tuntutan bukan hanya ditujukan kepada pihak orangtua saja, tetapi juga guru dan pembimbing lainnya. Dukungan lingkungan akan kebutuhan anak, memberi anak keleluasaan gerak dan sarana menjadi prasyarat baginya.
Guru diharapkan dapat membimbingnya menapaki tahapan tumbuh kembangnya yang sulit tersebut dalam situasi aman agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dalam lingkungan yang nyaman. Guna memenuhi hal ini, guru perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan yang memadai dan selalu mengikuti penyegaran keilmuan guna mengikuti perkembangan strategi pengajaran yang didukung oleh hasil-hasil penelitian mutakhir (evidence based practice) yang kini sangat pesat berkembang.

Kepada rekan-rekan mahasiswa umumnya dan khususnya yang berkecimpung dalam dunia Pendidikan Keguruan untuk selalu berusaha meningkatkan kemampuan agar saat terjun ke dunia pendidikan sebagai tenaga pengajar dan pendidik mampu untuk mengatasi permasalahan dalam menghadapi anak berbakat.






DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad dan Muhammad Asrori. 2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Bumi Aksara
Moch. Soleh. Y.A. Ichrom. 1988. Persfektif Pendidikan Anak Gifted. Jakarta: Depdikbud
Munandar, S.C. Utami. 1972. Bunga Rampai Anak-Anak Berbakat Pembinaan dan Pendidikannya. Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada
Syamsu, Yusuf, dan N. Juntika. 2007. Teori Kepribadian. Bandung: Rosda
T. Raka Joni, 1973. "Creativity : A. Review of Selected Literature. "Dalam kumpulan karangan ilmiah, sen 2”. Malang: I KIP Malang
Tiel, Julia Maria van. 2003. Anak Berbakat. Jakarta : Sinar Harapan

Arsip Blog


ShoutMix chat widget

Dimanakah saya BErada

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pengikut

TEXT. Diberdayakan oleh Blogger.

Ruangan Diskusi